Orientasi Hidup Guru Bangsa
Orientasi hidup Tan Malaka
Orientasi hidup Tan Malaka adalah mencapai kebebasan. Bagi Tan Malaka, kebebasan itu dimaknai jika individu tak terjerat dalam kepentingan-kepentingan yang membuatnya terkungkung. Apabila terkungkung ia tidak akan bisa mengembangkan dirinya. Potensinya terbatasi, sehingga seseorang itu tidak bisa melakukan inovasi hingga akhirnya tidak bisa memberi manfaat yang lebih besar pada masyarakatnya. Ibaratnya ia akan menjadi benda yang selalu dilempar-lempar oleh berbagai kepentingan.
Supaya manusia tidak terkungkung, Tan Malaka menyarankan supaya mengaktifkan pikiran, cita-cita dan aksi. Masing-masing manusia itu memang berpotensi untuk terkungkung dalam suatu kepentingan, namun ketika manusia senantiasa berupaya keras melepaskan keterkungkunga nya melalui aksi dan senantiasa berupaya keluar dari arus suatu kepentingan yang melingkupi nya, ia pasti akan berkembang.
"Ketika banyak orang mencari ku, mengejar ku dan bertanya-tanya tentang keberadaan ku, aku berusaha menyingkir dengan lari meninggalkan arus kepentingan-kepentingan yang bersinggungan dengan ku. Itulah sebabnya aku banyak melakukan perjalanan. Dalam pelarian itu, justru aku bisa dengan leluasa mengeluarkan ide dan gagasan. Itulah yang ku maksud dengan aksi tadi. aku meninggalkan kepentingan-kepentingan dan gelanggang untuk berkuasa. Itulah yang dinamakan pencarian jati diri. Dari semua itu, paling tidak aku telah merasakan sisi positif untuk tetap bebas berpendapat."
Memang, ketika ide telah diungkapkan, cerminan jati diri seseorang telah tergambar kan. Ini berlaku bagi siapa pun, baik orang itu berfikir jangka panjang atau jangka pendek, berfikiran keras atau tunduk kepada arus. Termasuk orientasi hidupnya, perilaku keseharian nya, ide idenya, dan lain sebagainya.
Tan Malaka tidak menganggap hal di atas sebagai tindakan egois. Sejatinya itu adalah pencari an jati diri untuk menentukan dasar pijakan dalam mengarungi hidup.
"Ibaratnya kita mencari batu pijakan di arus sungai yang kita penting kan adalah mendapat pijakan buat diri sendiri dulu. Setelah mantap, kita baru bisa menolong orang lain, supaya orang disekitar kita tidak ikut terhanyut. Jika kita tidak mendapat pijakan terlebih dahulu, diri kita akan hanyut. Pada hakikatnya, jati diri itu tidak bisa di bentuk oleh orang lain. Jati diri hanya bisa dibentuk oleh diri sendiri. Dalam mencari pijakan itu kita harus mencari sendiri, tidak bisa berpijak pada pendirian orang lain. Dan dalam hal menolong orang lain, itu pun harus tetap berdiri pada pijakan sendiri. Bukan mengajak mereka pada pijakan kita, tetapi membantu mereka untuk mendapatkan pijakan nya sendiri "
Hal itu tidak bisa disebut individualis, karena pada dasarnya ada aktifitas memberi pertolongan dan teladan kepada orang lain supaya mereka bisa menjadi lebih baik, tidak hanyut dalam arus dan dapat menemukan keselamatan nya sendiri. Prilaku seperti ini justru menunjukkan Universalitas nya manusia.
Tan Malaka tidak menolak universalisme. Menurutnya, meski dunia dipenuhi orang-orang individualis, mereka tetap berpijak pada universalisme. Misal, ada yang menganut liberalisme, komunisme, sosialisme dan lain sebagainya. Dasar sejatinya ialah universalisme. Ibarat sungai tadi, batu yang dipakai berpijak berbeda, namun yang menjadi dasar sungainya tetap sama. Dengan demikian, pemikiran Tan Malaka sama sekali tidak bertentangan dengan universalisme.
"Universalisme memberi pijakan kepada kita, namun sisi lainnya dapat membuat kita hanyut. Ya saya ( Tan Malaka) tidak mau adalah kita hanyut tanpa mengerti orientasi hidup . Karena ketika kita hanyut, apa-apa itu akan ditabrak. Lantas kita hanya meniru tanpa bersikap kritis. Ketika kita melewati batu-batu di sungai yang berisi komunisme, kita akan mengikut komunisme. Ketika ketemu arus liberalisme,kita juga terbawa oleh liberalisme. Pada hakikatnya kita tidak punya jati diri."
Pencarian jati diri itu tidak melanggar etika. Etika itu tidak punya aturan tentang pilihan menentukan jati diri manusia. Jati diri itu tidak diatur dalam etika. Etika hanya membahas hubungan manusia dengan manusi, bukan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam pencarian jati diri itu kita tidak mengabaikan orang lain, namun dalam tahap itu ada pertarungan dalam diri sendiri. Ibaratnya kita berada diantara orang-orang yang haus, kemudian ada air, dan kita berlomba menemukan air itu untuk diminum tanpa memperhatikan orang lain. Dalam kondisi itu tidak ada nilai etika yang dilanggar. Setelah menemukan jati diri yang kuat , kita akan bertindak untuk memberi bantuan kepada orang lain. Itulah salah satu perangkat hak asasi.
Dalam kaca mata kemanusiaan, orang yang tidak mempunyai jati diri adalah orang yang lemah. Ia tidak mempunyai peran sebagai manusia ditengah masyarakat. Ia lebih berperan sebagai hewan peliharaan di tengah masyarakat. Itulah sejelek-jelek nya kemanusiaan. Ia akan bergantung kepada orang lain dan tidak mampu bersikap mandiri. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah dan tidak memiliki nilai. Jika negara dipenuhi orang-orang seperti itu, negara tidak akan punya nilai. Jika para pemimpin tidak memiliki jati diri, ibaratnya negara ini tidak ada pemimpin nya. Hal demikian tidaklah bisa disebut Tut Wuri Handayani, karena ia tidak Handayani, tidak memberikan daya, tidak memberikan dorongan, tidak memberikan nilai. Negara akan rusak jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki jati diri.
Begitu pula jika rakyat tidak punya pijakan. Sang pemimpi mungkin bisa Handayani, namun tidak akan mampu menimbulkan pergerakan pada orang-orang yang dipimpin nya. Dalam membangun negara yang diperlukan adalah mencari pijakan sendiri-sendiri dan dicari kesamaan-kesamaannya. Kemudian bersatu dan membangun jembatan pemikiran. Karena itu setiap individu hendaknya mengungkapkan pemikiran-pemikiran dan kehendaknya, dengan harapan hal itu bisa membantunya menemukan pijakan, yang kelak bisa digunakan untuk membangun jembatan pemikiran dalam kehidupan berbangsa.
@Copy_Right_Billy_Putra_Malingga
Comments
Post a Comment